Self Talk

Menuju 25, Apa Sih Mimpi Kamu?

Sebentar lagi saya menginjak usia 25 tahun. Masih lama sih, masih sekitar empat bulan lagi. Usia 25, seperempat abad, usia di mana seseorang dikatakan “dewasa” dan “matang”. Namun, saya sendiri justru merasa gamang. Menjelang usia 25 tahun ini, justru saya punya pertanyaan besar yang sampai saat ini belum juga terjawab.

“Apa sih impian saya?”

Saya masih ingat saat kelas 3 SMA dulu. Menjelang kelulusan, di kelas Bimbingan Konseling, kami para murid diajak untuk mengisi semacam life timeline, apa saja yang ingin dicapai dan di usia berapa kami memiliki target untuk mencapainya. Dulu, saya punya mimpi besar. Iya, anak kelas 3 SMA yang saat itu usianya belum genap 17 tahun dan merasa sangat excited saat diajak berdiskusi soal “mimpi” dan “impian”. Yang ada dalam bayangan saya saat itu, saya sudah jadi seseorang yang hebat saat usia 25 tahun. Bekerja di sebuah konsultan PR di Jakarta dan mencintai pekerjaan saya. Keren, cuma itu yang terlintas dalam bayangan saya.

Tapi mimpi itu fluktuatif. Dia bisa berubah kapan saja. Berbagai pergolakan jiwa yang saya alami selama masa kuliah membuat saya sempat lupa tentang bagaimana caranya bermimpi. Belum lagi lulus kuliah yang telat membuat saya seolah berpacu dengan realita kalau saya harus segera mendapatkan pekerjaan, apapun itu jenisnya.

starsstarimagineinspireedlove-459ffdb7c3fca921fa05a02282f04b98_h

Jadi di sinilah saya sekarang, wanita yang hampir menginjak usia 25 tahun, masih single, dan Alhamdulillah bekerja di bidang yang saya minati. Walaupun jauh dari mimpi saya yang ingin menjadi seorang PR atau bergelut di ranah digital marketing, bidang yang ingin saya seriusi sejak saya kuliah. Tapi, saya bersyukur kini menjadi seorang penulis, sesuatu yang saya cita-citakan sejak saya bisa menulis cerita pertama saya saat kelas 2 SD.

Kira-kira sampai setahun yang lalu, saya cuma punya satu mimpi. Menikah. Membangun sebuah keluarga bersama seseorang yang saya cintai. Saya bahkan punya sebuah target usia kapan maksimal saya harus menikah. Saya pikir itu wajar sih, mengingat saya sudah memiliki pacar sejak hampir 7 tahun yang lalu. Bersama seseorang dalam jangka waktu selama itu pastinya akan menumbuhkan harapan untuk bisa ke jenjang selanjutnya. Saya pun demikian, sama seperti wanita-wanita kasmaran lainnya yang ingin segera menikah.

Lalu kami harus menjalani hubungan long distance relationship dalam jarak yang cukup jauh, berbeda pulau. Hal ini berlangsung sejak dua tahun yang lalu. Mungkin memang berat bagi pasangan yang melewatkan masa lima tahun bersama-sama, bisa bertemu kapan saja saat ada keinginan untuk bertemu. Namun, cerita LDR ini ternyata seperti membukakan mata saya tentang sisi lain dunia yang selama ini belum saya tahu.

Jujur sih, 5 tahun bersama pasangan sejak kuliah, satu fakultas, aktif di organisasi yang sama, satu tempat magang, hingga telat lulus bersama itu membuat kami terlihat seperti satu paket lengkap. Di mana ada saya, di situ pasti ada pacar saya. Identitas saya bukan diri saya secara mandiri, tapi diri saya sebagai pacar dari seseorang. Kebersamaan yang terlalu intens itu membuat saya jadi sosok wanita manja-menyebalkan-yang-nggak-bisa-mandiri. Ini berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan saya, mulai dari yang ringan seperti ke mana-mana minta ditemani, hingga yang cukup berbobot, seperti nggak bisa membuat keputusan sendiri. Iya, saya dulu seperti itu.

Lalu menjalani hampir dua tahun masa LDR seperti memberikan saya sudut pandang baru. Sensasi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya seperti menemukan kemandirian saya yang selama ini entah ke mana. Dan saya sangat menikmatinya.

Masa-masa mandiri ini kemudian membuat saya berpikir tentang apa yang ingin saya lakukan ke depannya. Apa sih impian saya? Mungkin kesannya terlambat, karena baru memikirkan hal tersebut di usia yang hampir seperempat abad. Saat wanita lain mungkin sudah ‘mapan’ dengan kehidupannya. Baik itu fokus dengan kariernya, tapi kebanyakan sih fokus membangun keluarga baru.

Belum. Kalau ditanya apa sekarang saya ingin fokus membangun keluarga, jawabannya adalah belum. Tentu saja keinginan itu ada, tapi saya belum ingin menyegerakannya. Kalau ingin digambarkan, saya saat ini sedang dalam sebuah perjalanan menemukan jati diri. Masih dalam tahap pencarian untuk mencari apa yang ingin saya lakukan untuk diri saya sendiri. Saya percaya, tiap orang harus memiliki mimpi untuk membuatnya merasa lebih hidup. Selama ini saya hidup hanya mengikuti arus saja, tanpa tahu ke mana tujuannya. Sekarang, saya ingin mencari tujuan sendiri.

Dan di saat saya sedang asyik-asyiknya menikmati masa-masa sendiri ini, saya justru mendapat ajakan untuk menikah. Yang dulu paling saya tunggu. Kalau saja datang setahun lebih cepat, mungkin saya akan langsung menerimanya. Saat ini, saya merasa banyak hal yang terjadi selama masa-masa mandiri ini yang membuat saya berusaha menerjemahkan apa yang sedang saya alami.

bridal-brooch-bouquet-vintage-fabric-bouquet-gray-soft-coral-and-ivory-fabric-flower-bouquet-alternative-bouquet-wedding-bouquet

Yang saya tahu, saat seorang wanita memutuskan untuk menikah, maka hidupnya sudah bukan miliknya sendiri. Dia memiliki suami dan keluarga yang juga butuh perhatian. Kalau pun dia tetap menjadi wanita bekerja yang sukses, akan ada waktunya nanti dia harus memilih fokus pada mimpinya berkarier atau pada keluarga. Saya pernah mendengar sebuah kalimat dari salah satu teman wanita saya yang sudah menikah dan mengabdikan dirinya sebagai ibu rumah tangga, “Saat seorang wanita sudah menikah, maka mimpinya adalah untuk merawat suami dan anaknya.” Tapi saat saya mendengar kalimat tersebut, yang terlintas dalam pikiran saya adalah tidak bisakah wanita yang sudah menikah tetap memiliki mimpi untuk dirinya sendiri? Mungkin nanti saya akan lebih paham dan menemukan jawabannya.

Saya pun mulai memikirkan pernikahan secara mendalam. Dan apa yang paling saya inginkan pastinya. Banyak hal kompleks yang terjadi pada diri saya beberapa waktu belakangan ini. Berbagai kejadian yang membuat saya memikirkan ulang kehidupan saya secara menyeluruh. Ada satu fase singkat yang saya lalui beberapa waktu lalu dan membuat saya mulai mencari kembali makna tentang hidup saya lebih dalam lagi. Lalu pemikiran tersebut bermuara pada satu pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya. Setelah melalui waktu yang sangat lama, egoiskah kalau saya sekarang memiliki mimpi yang berbeda?

Everything happens for a reason. Saya selalu meyakini hal tersebut. Nggak ada kebetulan yang nggak memiliki alasan. Namun, makna apa yang tersembunyi di baliknya, saya sedang mencari tahu hal tersebut. Jadi, mungkin saatnya jujur pada diri sendiri tentang apa yang paling saya inginkan. Apa yang ingin saya capai. Dan yang paling penting, dengan siapa saya ingin mencapainya. Usia 25 bukanlah waktunya untuk bermain dengan hati.

Welcome 25!

9 thoughts on “Menuju 25, Apa Sih Mimpi Kamu?

  1. “Usia 25 bukanlah waktunya untuk bermain dengan hati.”

    bermainlah dengan realita, catering itu mahal 🙂
    biaya anak sekolah itu mahal, makanya butuh asuransi *cari mba boo

    Like

  2. ketika ragu sedang dirasa, jangan memaksa. nikmati dulu waktu yang kamu punya.

    tapi jangan terlalu lama.
    jam biologis kita terus berputar dan jangan sampai menyesal karenanya.

    Like

Leave a comment