Self Talk

Menjadi Pendendam yang Elegan

Menjadi orang dengan daya ingat yang tajam itu pasti jadi anugerah banget. Saya pasti bakalan bersyukur kalau terpilih menjadi orang dengan memori kuat, soalnya bakal bermanfaat banget waktu dipakai kerja. Jadi nggak bakal lupa karena melewatkan email penting yang hasilnya jadi sebuah kesalahan fatal.

Sayangnya, kemampuan daya ingat saya justru kacau balau kalau mengorganisir kerjaan di kantor. Dan malah berfungsi maksimal saat berhubungan dengan hal-hal cemen yang nggak banget, mulai dari si mantan yang nggak suka keju, momen saat saya jatuh cinta secara random dengan seorang stranger waktu dia lagi main gitar sambil nyanyi, dan yang paling akurat adalah mengingat kesalahan yang orang lain lakukan terhadap saya.

Pernah dengar ungkapan forgiven but not forgotten, kan? Rasanya saya menganut prinsip garis keras dari ungkapan itu deh. Saya percaya kalau kita bisa memaafkan banyak hal yang udah dilakukan orang lain terhadap kita. But hey, can we even forget them all? I don’t think so. Apa yang udah terjadi ya udah kan, nggak bisa diulang lagi. Nggak bisa dihapus dari memori. Jadi gimana bisa lupa?

518bfef05e224e486ae1e244490375ca
Forgiven, not forgotten. Image copyright by: pinterest.com

Pacar saya bilang saya pendendam. Saya nggak berusaha mengelak hal ini sama sekali kok, toh dendam itu manusiawi banget. Dendam cuma salah satu dari sekian banyak emosi yang bergejolak dalam diri sebagai seorang manusia. Biarpun tergolong sebagai emosi negatif dan beberapa orang bakal menganggap kamu sebagai anak kecil karena jadi pendendam, but who’s really care? You live with your own heart, not with people’s opinion.

Jadi pendendam itu emang susah sih. Tapi lebih susah lagi kalau punya pacar yang ingat dengan detail semua dendam recehmu di zaman kelabu. Jadi, beberapa hari yang lalu kami sempat membahas beberapa dendam receh saya waktu masih sekolah dulu. Salah satunya dengan segerombolan teman cewek yang pernah melabrak saya karena masalah mahapenting para pelajar di usia labil, yaitu cowok.

Ini jadi salah satu dendam paling receh sekaligus paling menyebalkan yang pernah saya miliki. Gara-gara seorang kakak kelas, sebutlah si A dan gengnya melabrak saya yang (katanya) keganjenan deketin her on and off boyfriend. Pacar putus nyambung si pelabrak yang nggak jelas, yang emang saya taksir berat waktu itu. Bukan adegan labrakan dengan kekerasan ala Geng Nero yang sempet ramai beberapa tahun yang lalu sih. Untungnya bukan ya. Cuma teriak-teriak nyolot ala ABG labil yang merasa terancam status quo-nya dan nyuruh saya jauh-jauh dari cowok itu, sebut aja si X.

Iya, adegan itu cuma salah satu dari kepingan puzzle hidup saya yang sekarang masuk dalam folder dendam masa lalu. Dan masih banyak lagi drama dendam receh lain yang begitu membekas dalam hati. Lalu pertanyaannya, apakah saya yang pendendam ini membalaskan dendamnya? Ya, tentu saja jika ada kesempatan membalas dendam. Saya juga nggak bakal menyusun rencana balas dendam dramatis ala-ala sinetron kejar tayang Indonesia juga kali. Kurang kerjaan banget. Saya membalas kalau memang ada kesempatan membalas. Dan yang paling penting, dengan cara yang elegan.

Jadi, gimana cara yang paling elegan itu? Silakan pikirkan sendiri. Kalau saya, saya lebih suka membalas dendam dengan bikin orang yang salah itu merasa bersalah dengan kesalahannya. Act like you’ve been hurt by them. Padahal kamu yang sedang menyakiti mereka. Iya, jahat emang, tapi saya percaya kalau yang namanya dendam memang harus dibayar tuntas. Daripada menjadi protagonis yang teraniaya, saya lebih memilih jadi antagonis yang menganiaya. Intinya gitu sih.

Postingan ini mungkin nggak inspiratif sama sekali karena mengajari kamu jadi pendendam. Tapi, kalau dilihat dari kacamata lain, sebenarnya mengajari kamu untuk lebih jujur dengan perasaan sendiri sih. Kalau memang belum bisa melupakan, kenapa harus ditutupi dan act like nothing happens?

8 thoughts on “Menjadi Pendendam yang Elegan

Leave a comment