cerpen

Percakapan Dini Hari

Aku biarkan jendela mobil terbuka, sambil sedikit melongokkan kepalaku keluar. Angin malam yang dingin menyentuh pipi dan membuat rambut panjangku melayang-layang. Biasanya, Reno akan memarahiku jika melakukan hal ini. Berbahaya, begitu dia bilang. Tapi kali ini dia diam saja. Mungkin karena ini sudah malam, dan jalanan sedang lengang. Atau mungkin karena dia sadar sedang membawa penumpang yang patah hati. Aku tidak tahu yang mana pertimbangannya. Pandangannya tetap lurus ke depan sambil mengemudi dalam sunyi. Seolah memberikanku ruang untuk sendiri.

“Kita mampir minimarket bentar ya.” Ini kalimat pertama yang terucap dari mulutnya setelah jangka waktu yang cukup lama.

“He eh.” Jawabku sambil memberi anggukan kecil, dengan pandangan yang masih menatap keluar jendela di sebelahku.

Kami berhenti di sebuah minimarket 24 jam yang letaknya tepat di pojokan persimpangan lampu merah. Dari luar terlihat suasana minimarket yang sepi, hanya ada dua orang pegawai yang sedang berjaga sambil menonton pertandingan sepak bola.

“Mau titip atau mau ikut keluar?” tanyanya setelah mematikan mesin mobil yang terparkir di depan minimarket.

“Ikut deh.” Jawabku kemudian.

Kami berdua keluar mobil dalam waktu yang hampir bersamaan. Aku pergi ke bagian pojok minimarket yang menyediakan kopi dan mie instan untuk diseduh sendiri. Aku mengambil sebuah gelas stereofoam dan kopi sachet yang sudah disediakan, lalu menyeduhnya.

Setelah membayar ke kasir, aku keluar menghampiri Reno yang sudah duduk di sebuah kursi yang disediakan di teras minimarket. Beberapa minimarket kekinian memang menyediakan meja dan kursi yang bisa digunakan pengunjung untuk duduk-duduk barang sebentar. Tapi nggak jarang malah banyak dari mereka yang menggunakannya untuk nongkrong hampir seharian.

Reno menghisap rokoknya cukup dalam saat aku duduk di sebelahnya. Kami berdua sama-sama menatap jalanan kota yang lengang. Pukul dua dini hari, hanya ada beberapa kendaraan yang berseliweran. Aku ikut diam sambil menyesap kopi. Aku suka suasana di jam-jam segini. Seperti masuk dalam kehidupan lain, di mana orang-orang tengah lelap dalam peraduan, dan aku seolah menjadi satu-satunya saksi kehidupan yang terus berjalan.

Aku menghela napas cukup berat yang ternyata mampu menarik perhatian Reno. Dia menyodorkan sekaleng Heineken yang kemudian aku tolak dengan halus.

“Aku kopi aja.” Kataku sembari tersenyum kecil.

Dia membalas senyumku dengan hangat. “Sudah lama aku nggak lihat kamu minum. Dia bener-bener bikin kamu banyak berubah ya.”

Aku tertawa kecil. Bukan karena pujian Reno, tapi karena mendengarnya menyebut ‘dia’ membuat dadaku terasa begitu nyeri.

“Aku nggak tahu apa itu karena dia.” Timpalku kemudian.

“Aku rasa sih begitu. Kamu jatuh cinta mati sama dia. Dan coba lihat kamu sekarang.”

Aku merasakan perubahan nada suara Reno saat mengucapkan kalimat itu, yang seolah menjadi bukti kalau aku memang sedang sangat kacau balau. Aku melihat bayanganku dari pantulan kaca mobil Reno, yang terparkir tak jauh di depan tempat kami duduk. Rambut panjang yang terlihat sudah tak terawat, wajah yang lelah. Dan mata itu… mata yang sembap karena menangis semalaman.

“Aku berantakan…” ucapku kemudian yang terdengar lebih seperti menggumam.

“Syukurlah kalau kamu merasa.” Reno lalu tertawa kecil.

“Ah, sialan kamu…”

Melihatnya tertawa entah kenapa membuatku juga ingin tertawa. Menertawakan diri sendiri. Tiba-tiba Reno diam. Lalu menatapku serius.

“Kali ini, kalian benar-benar putus?”

Aku cuma bisa mengangguk lesu untuk menjawab pertanyaannya.

“Yakin? Sepertinya apapun yang terjadi, kalian bakal tetap nyambung lagi deh. Nanti bakal ada satu momen di mana kamu pasti balikan lagi sama dia. Seperti yang sudah-sudah.”

Seperti yang sudah-sudah. Reno mungkin salah satu saksi kisah cinta aku dan dia yang begitu dramatis. Suatu saat bisa saling mencintai dengan hebat, tapi ada masanya kami saling melukai dengan sempurna. Lalu berusaha saling meninggalkan. Kemudian seperti magnet yang bertemu kutubnya, kami bersama lagi. Sebuah lingkaran setan yang menyakitkan, tapi terasa indah saat menjalaninya. Karena aku memang cinta mati padanya.

“Aku nggak bisa gitu terus, Ren. Aku kira aku sudah kebal jika kami saling menyakiti lagi. Toh rasanya tetap sama. Tapi ternyata, yang namanya luka tetap aja sakit.” Lalu satu per satu kenangan itu mulai bermunculan. Hal-hal manis yang kami lakukan bersama, hingga pertengkaran dan perpisahan yang pernah kami lalui. Memori itu membuat hatiku tambah nyeri. Aku kembali meminum kopi dalam genggamanku yang mulai terasa dingin.

“Jadi, benar-benar sudah tamat?” dia berusaha meyakinkan lagi.

“Dia mau nikah Renooo… Aku nggak segila itu juga.” Ucapku setengah putus asa.

“Tahu nggak sih, kalian itu lucu. Kalau sama-sama sayang, kenapa segitu hebatnya berusaha saling meninggalkan sih? Dan kamu juga bodoh. Kalau udah tahu bakal begini akhirnya, kenapa masih dilanjutin? Kenapa nggak pergi aja dari dulu-dulu?”

“Kalau aja aku bisa milih Ren… Kalau aja bisa. Aku bakal milih nggak terjebak dengan perasaanku sendiri. Aku juga nggak mau begini terus. Siapa sih yang mau sakit terus-terusan? Tapi aku nggak bisa mengendalikan perasaanku. Aku nggak bisa bohong kalau aku cinta mati sama dia.” Aku merasa kalau suaraku mulai bergetar. Tapi hebatnya, tak ada lagi air mata yang keluar. Mungkin sudah terkuras habis sejak menangis semalam.

Reno menghisap rokoknya dalam sebelum mematikannya. Aku bisa melihat asap keluar perlahan dari mulutnya. Salah satu pertanda kalau dia sedang dalam mode serius.

“Aku paham. Aku juga pernah mengalami itu. Tiga tahun lalu. Ingat kan?” Ucapnya kemudian.

Aku mengangguk, langsung mafhum dengan arah pembicaraannya.

“Jatuh cinta itu salah satu hal yang nggak bisa dinalar di dunia ini. Cara kerjanya misterius. Hal yang nggak bisa dipaksakan apalagi diatur dengan logika. Dan memori orang yang pernah kamu cintai nggak akan bisa hilang begitu saja. Kalau pun kalian sudah nggak bersama lagi, tapi aku yakin masing-masing dari kalian nggak ada yang bisa benar-benar melupakan.”

Ada satu sisi yang membuatku selalu nyaman dengan Reno. Sisi di mana dia selalu bisa bersikap dewasa dan seolah bisa memaklumi semua tingkah kekanakanku saat sedang kacau. Sisi yang membuatku selalu menjadikannya tempat berlindung sementara saat sedang sekarat seperti ini. Walau aku tahu sudah tak seharusnya menjadikannya sebagai sandaranku.

“Jadi jangan pernah berharap kamu bisa melupakan dia. Jangan. Kamu cuma bakal semakin merana karena kamu nggak akan bisa lupa. Kamu nggak usah menyakiti dirimu sendiri dengan memaksa melupakannya.”

“Kamu juga masih nggak bisa lupa Ren? Udah tiga tahun, lho?”

Reno menjawabnya hanya dengan gelengan pelan. Sejak dulu aku hanya bisa berandai-andai bagaimana rasanya jadi Reno. Istri yang dinikahinya selama lima tahun mendadak minta cerai karena alasan nggak masuk akal. Istrinya jatuh cinta dengan pria lain. Dan Reno melepasnya nyaris tanpa perlawanan berarti, setelah memastikan sendiri kalau istrinya memang benar-benar jatuh cinta dengan pria itu. Tapi yang lebih nggak masuk akal adalah alasan Reno menceraikan istrinya. Karena dia melepaskan perempuan itu untuk kembali. Reno percaya suatu hari nanti istrinya akan pulang padanya.

Sekarang aku tahu, mungkin rasanya kurang lebih seperti ini. Atau mungkin lebih sakit lagi, karena saat itu dia tidak punya siapapun untuk bercerita. Aku jauh lebih beruntung.

Kami masih terdiam. Reno lalu mengeluarkan smartphone dari sakunya dan memutar sebuah lagu. Lagu yang familiar buatku. Lagu yang mungkin menggambarkan perasaan Reno saat ini. Stay (Faraway, So Close) dari U2. Suara Bono mengisi keheningan di antara kami. Aku hanya terdiam meresapi liriknya.

“Jadi kamu masih belum ingin pulang? Pulang ke rumah kita?” Reno memecah keheningan dengan pertanyaan yang membuatku tak mampu berkata apapun.

Aku hanya bisa tersenyum. Seseorang meninggalkanku dan berharap aku bahagia. Dia akan menikah dengan perempuan lain yang ibarat dewi di surga, seribu kali lebih baik dariku. Seseorang yang lain aku tinggalkan di masa lampau dan masih percaya suatu hari nanti aku akan pulang bersamanya.

“Aku ingin melihat matahari terbit di pantai, Ren.” Jawabku kemudian.

Reno melihat jam tangannya. “Oke, yuk sekarang?”

Dia Reno, mantan suamiku.

***

 

 

Leave a comment