Self Talk

Antara Penulis dan Pekerjaan Prospektif Lainnya dalam Ranah Komunikasi

Menulis mungkin menjadi hobi yang cukup banyak dimiliki oleh sebagian orang. Namun, nggak semua dari mereka yang suka menulis bisa berkecimpung dalam dunia kepenulisan secara profesional. Saya termasuk salah satu yang cukup beruntung bisa masuk ke dalam ranah ini, meskipun itu adalah hal paling terakhir yang ingin saya pilih dalam daftar cita-cita saya dulu. Serius, saya nggak pernah terobsesi jadi penulis. Mungkin karena sejak kecil mendengar wejangan orang tua kalau sebaiknya menjadikan kegiatan menulis sebagai hobi saat senggang, bukan pekerjaan utama. Dan iya, saya benar-benar menjadikannya hanya sebagai ‘selingan’ saat senggang.

Sejak di bangku SD, saya cukup produktif menghasilkan karya kepenulisan mulai dari cerpen hingga puisi. Jangan tanya soal kualitas, karena itu hanyalah ‘tulisan pengisi waktu senggang’. Produktivitas ini memuncak saat SMP, lalu berangsur menurun saat SMA dan berhenti total ketika kuliah. Iya, 5 tahun sekian saya kuliah hanya mampu menuliskan makalah-makalah yang nggak lain adalah tugas dari dosen. Dan karya terbesar saya adalah skripsi 300-an halaman yang isinya benar-benar sebuah cerita deskriptif. Yang saya kerjakan selama 2 tahun hingga menjadi mahasiswa tua karatan yang kehilangaan teman seangkatan saat antri bimbingan di ruang dosen.

Meskipun demikian, saat kuliah saya masih dengan bangganya mengaku kalau memiliki hobi menulis. Ikut sebuah organisasi jurnalistik yang waktu itu terlihat keren di mata saya. Pernah sih ada keinginan jadi jurnalis. Sayangnya, dua tahun aktif dalam organisasi tersebut justru saya nggak pernah mengisi satu pun produk jurnalistik yang dihasilkan, baik itu sekadar mading sastra, koran tempel, hingga majalah tahunan. Nggak ada satu pun. Bayangkan! Jadi, ngapain aja saya selama aktif di organisasi? Saya memang sempat jadi salah satu ‘petinggi’ di lembaga tersebut yang terlalu sibuk baku hantam oleh kebijakan kampus dan politisasi yang dimainkan oleh organisasi mahasiswa ekstra kampus. Tapi sebenarnya, lebih dari itu semua, saya hanya merasa menjadi mahasiswa yang gagal kritis selama kuliah. Oke, sejak saat itu saya membatalkan keinginan saya untuk jadi jurnalis. Saya memang suka menulis, tapi banyak kok jenis tulisan yang bisa bikin saya have fun.

Kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi memang membukakan mata saya tentang variasi pekerjaan yang bisa saya ambil di dunia nyata. Jujur, bukan tanpa alasan saya pilih jurusan yang konon katanya berisi mahasiswa gaul nan hedonis itu. Saya pilih itu karena memang saya ingin jadi public relations. Lalu sempat kepincut untuk menjadi marketing promotional yang kerjanya bisa jalan-jalan dari satu daerah ke daerah lain untuk mengadakan event promosi produk. Ternyata, justru saya jadi seorang penulis, yang kerjanya bahkan duduk seharian di depan komputer selama 8 jam dalam sehari, minimal. Lucu ya. Mungkin, itu yang namanya jodoh.

Lebih tepatnya, saya adalah seorang content writer di salah satu perusahaan yang dikenal dengan situs media hiburannya. Pekerjaan saya adalah menulis konten sesuai dengan request klien. Saya suka, rasanya seperti menekuni hobi dan dibayar. Tapi lucunya, saya justru sering di-bully oleh teman-teman terkait pekerjaan saya. Saya nggak sakit hati sih, hanya saja saya nggak habis pikir, sebegitu ceteknyakah pemikiran mereka?

Pekerjaan yang dianggap paling dewa sebagai alumni jurusan Ilmu Komunikasi adalah bekerja sebagai reporter di stasiun televisi ternama. Atau menjadi jurnalis surat kabar nasional. Iya, pekerjaan lain seperti pegawai bank atau dosen juga tetap menjadi kasta tertinggi, tapi kalau bicara yang sesuai dengan jurusan yang diambil, reporter atau jurnalis adalah yang paling utama. Apalagi jika kamu mengisi rubrik politik, ekonomi, atau tema ‘berbobot’ lainnya yang bukan entertainment. Apalagi jika tulisan atau hasil liputan ‘berkualitas’mu menang penghargaan yang levelnya nggak main-main.

Tapi yang lebih ironi, sekalipun kamu bekerja jadi reporter di stasiun televisi milik salah satu pengusaha terkenal Indonesia yang sering menyebarkan berita hoax dan jadi bahan kritik selama kamu jadi mahasiswa Komunikasi, derajatmu tetap lebih tinggi daripada jadi editor di media online yang fokus ke gosip artis. Padahal, saya berani jamin kalau gosip artis yang diulas mengandung kebenaran lebih akurat daripada siaran kabar tentang lokasi-lokasi teror bom Jakarta yang ternyata hoax.

Dan kalau kamu bilang kebanyakan berita yang diulas di media hiburan online karena dibayar si artisnya, balik lagi deh. Itu lho, dua stasiun televisi swasta raksasa di Indonesia yang fokus ke hard news memangnya nggak memuat unsur politik dan kepentingan dari pemilik medianya? Agenda setting, baby! Okelah, mereka memang menyajikan wacana yang jauh lebih informatif dan menyangkut hajat hidup bersama. Tapi, kepentingan yang dibawa juga nggak main-main dan menyangkut kehidupan ratusan juta penduduk Indonesia. Kamu yang anak Komunikasi pasti udah khatam banget sama teori Agenda Setting dan Framing media massa. Tenang, saya nggak akan bahas teori itu karena ini bukan blog Teori Komunikasi. Dan sejak belajar teori itu, saya jadi jarang banget nonton berita di TV atau baca koran. Iya, sesekali masih baca dari situs online, tapi hanya dibiarkan berlalu begitu saja tanpa mengarah pada kesimpulan dan opini tertentu. Kalau saya masih sepolos itu mudah terbawa pemberitaan tertentu, mungkin saya harus mengulang mata kuliah Teori Komunikasi atau Cultural Studies yang membahas hegemoni media massa. Oke, stop.

Jadi, intinya adalah jangan pernah mengkotakkan pemikiranmu. Jangan mempersempit cara pandangmu terhadap segala sesuatu. Jika saat ini kamu sedang menempuh studi Ilmu Komunikasi dan mengambil peminatan tertentu, jangan membatasi diri untuk tidak mempelajari bidang minat lainnya. Dan tidak pernah ada yang namanya pekerjaan dewa dalam bidang tersebut. Apapun pekerjaan kamu nantinya, entah itu sukses jadi jurnalis, reporter, penulis, PR, atau mungkin content writer seperti saya, jangan pernah merasa terintimidasi secara sosial. Karena sesungguhnya, hanya kamu yang menikmati pekerjaanmu, kamu yang menuai hasilnya. Akan ada nilai kepuasan tersendiri saat kamu melakukan sesuatu yang memang kamu cintai, meskipun hal itu sangat jauh dari spotlight. Intinya, kamu nggak membutuhkan pengakuan orang lain atas kesuksesanmu kok.

Selamat berakhir pekan!

3 thoughts on “Antara Penulis dan Pekerjaan Prospektif Lainnya dalam Ranah Komunikasi

Leave a comment